© Ilustrasi |
Pada zaman dahulu, di Pinggiran Sungai Kahayan, terdapat sebuah kampung. Disana hiduplah seorang wanita bernama bawi sandah. Rupanya begitu cantik, ia memiliki rambut panjang yang menjuntai hingga ke pinggul. Bawi sandah tinggal bersama kedua orang tua dan adiknya.
Bawi sandah ini suka sekali mendare, yakni mengayam rotan untuk dibuatkan tikar. Meski rupanya begitu cantik, namun bawi Sandah belum juga menikah. Usianya sudah menginjak 30 tahun membuat kedua orangnya mulai galau, mereka berharap anak gadisnya bisa segera di pinang laki-laki mapan dan bertanggung jawab.
Kehidupan bawi sandah dan orang tuanya termasuk keluarga yang kekurangan. Sehari-hari Ayahnya bekerja ke hutan mencari rotan dan kayu bakar kehutan untuk dijual ke kampung. Sementara ibunya hanya dirumah sambil membuat dare atau tikar yang hasilnya pun tidak seberapa. Alhasil karena kekurangan itulah, keluarga mereka sering berhutang kepada rentenir kampung saat itu.
Suatu ketika datanglah rombongan dari kampung seberang ini melamar bawi Sandah. Namanya si Dambeng, Pemuda ini cukup kaya karena orang tuanya adalah tuan tanah dan punya banyak kebun.
Namun kekayaan Dambeng tidak disertai budi pekertinya. Ia memiliki sifat yang tidak baik, suka minum tuak dan berjudi sabung ayam.
Namun karena terlilit utang, dengan banyak pertimbangan akhirnya lamaran keluarga Dambeng diterima. Bawi sandah rela mengorbankan perasaannya demi orang tuanya.
Hari perkawinan tiba, pesta dilakukan dengan sangat meriah 3 hari tiga malam. Berbagai makanan dihidangkan, seluruh penduduk kampung datang silih berganti. Bahkan tetua tokoh kampung sebelah juga tidak lupa di undang.
Dambeng setelah menikah rupanya tidak berubah-ubah juga kelakuannya. Ia masih sering berjudi main dadu gurak dan minum-minuman tuak. Selain jarang tinggal dirumah, dambeng beberapa hari terakhir juha mulai bersikap kasar dengan isterinya.
Beberapa bulan berlalu, hingga isterinya Bawi Sandah mengandung sang anak dalam perut. Ketika menginjak usia 2 bulan, ia mulai mengidam. Sayangnya, ketika meminta makanan untuk pengilar liur, Dambeng selalu tidak ada disitu. Masa-masa mengandung, suaminya hanya begitu asyik bermain judi.
Tidak terasa, Bawi Sandah sudah hendak melahirkan. Malam itu perutnya begitu sakit, sementara tidak seorang pun dirumah saat itu. Dalam keadaan perut yang melilit, bawi Sandah berteriak mengaduh-ngaduh kesakitan. Hari makin gelap, susana semakin dramatis ketika hujan turun seraya di ikuti kilatan petir.
Pertolongan pun tidak datang, hingga akhirnya Bawi Sandah terpaksa harus melahirkan sendiri dalam kamarnya. Untungnya bayinya selamat. Masih dalam suasana gembira, Bawi Sandah membersihkan bayi laki-lakinya.
Hingga subuh itu, datanglah Dambeng yang masih dalam kondisi mabuk. Dambeng seperti biasa mengetuk pintu dengan kasarnya, pintu dibuka ia langsung menuju ke dapur mencari makan.
Ketika itu, Bawi Sandah menyampaikan tentang kelahiran anak laki-laki mereka. Namun karena dalam kondisi mabuk, berita itu sama sekali tidak berpengaruh bagi dambeng. Bahkan ia terus saja menanyakan lauk makan yang kosong diatas meja.
"Mana makanan di atas meja, kok tidak ada," bentak Dambeng terdengar menggelegar.
Bahkan, karena merasa tidak ada jawaban dari isterinya, ia sampai menghentakan meja makan. Begitu nyaring sekali suara kemarahan Dambeng. Ia tidak tahu jika isterinya tengah kelelahan habis melahirkan.
Karena terus didesak, Bawi Sandah bangkit. Ia sadar tidak ada lauk di meja, maka dengan perasaan jengkel dan marah ia mengambil ari-ari yang terbungkus dikain tempat tidur bekas ia melahirkan tadi. Bawi Sandah pun memasak ari-ari tersebut sambil menangis sejadi-jadinya.
Saat dihidangkan, Dambeng begitu lahap memakan masakan yang berasal dari ari-ari anaknya, ia pun kekenyakan dan tertidur. Malam itu semakin larut, hujan mulai turun diselingi desiran kilat dan guntur.
Hingga pagi itu, Dambeng yang mulai sadar dan tiba-tiba terbangun saat mendengar suara gaduh dari balik kamarnya. Betapa terkejutnya dambeng, ia melihat sosok mahluk tinggi besar dan bersisik yang lebat didalam tempat tidur isterinya.
Perlahan Dambeng mendekat, mahluk itu hampir sebesar kasur. Pergelanga tangannya menyerupai guling, rambutnya begitu panjang. Sementara sekujur tubuhnya ditumbuhi sisik. Rupa-rupanya perempuan itu adalah bawi Sandah yang sudah menjelma menjadi mahluk mengerikan.
Bawi Sandah yang mengetahui perubahan akan dirinya menjadi takut, perlahan -lahan ia mulai menangis hebat. Dambeng mulai ketakutan, ia pun berlari kencang mencari pertolongan warga di desa. Malam itu, gemparlah penduduk satu kampung. Bawi sandah menjelma menjadi hantuen atau hantu.
Meski memiliki rupa yang menyeramkan, namun Bawi sandah tetaplah berhati manusia. Ia merasa malu akan perubahan dirinya sehingga tidak mau keluar kamar. Kemudian dipanggilnya kedua orangtuanya untuk membujuk Bawi Sandah menceritakan musabab perubahan dirinya.
Setelah di usut, Bawi Sandah akhirnya menceritakan kisah perbuatannya yang memberi makan ari-ari untuk lauk makan suaminya dambeng. Meski Dambeng sudah memaafkannya, namun nasi sudah menjadi bubur. Bawi Sandah sudah terlanjur menjelma menjadi mahluk mengerikan.
Malam itu, rapatlah semua tetua kampung. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengasingkan Bawi Sandah keluar kampung. Mereka menganggap Bawi sandah telah menjadi Hantu siluman, dan khawatir akan berakibat bencana bagi warga kampung. Akhirnya mereka menyusun sebuah rencana.
Dambeng dan salah satu tetua kampung akhirnya membujuk Bawi sandah untuk mau dibawa pergi naik kapal. Mereka merayu Bawi Sandah akan membawa dirinya berobat ke tempat tabib handal. Meski awalnya tidak mau, namun karena terus dibujuk ia akhirnya menuruti permintaan tersebut.
Dibawalah bawi sandah dengan menggunakan perahu kayu yang sangat besar. Ketika itu wujud Bawi sandah sudah sedemikian besar, bahkan hampir melampai rumah yang ia tempati. Sebelumnya warga sudah membuatkan peti yang juga berukuran besar, bawi Sandah pun diminta masuk kedalam peti kemudian diangkut menggunakan Kapal tiung yang memilki rupa besar luar biasa saat itu.
Kapal tiung yang mengangkut bawi sandah ada dua buah, keduanya di gandeng menjadi satu untuk menampung ukuran bawi sandah yang sedemikian luar besar.
"Nanti kalau sudah sampai akan dikami beritahukan," ujar dambeng dari balik peti yang juga ikut mengantarkan bawi sandah dalam kapal tiung.
Kapal tiung mulai dikayuhkan, puluhan warga kampung yang berbadan besar mengayuh sekuat tenaga. Tujuan mereka adalah pulau yang jaraknya jauh dari kampung.
"Sudah sampai kah," tanya bawi sandah dalam peti.
"Beluum," ujar dambeng yang saat itu hampir berjam-jam mengayuh kapal.
Ketika pulau sudah keliatan, perlahan-lahan mereka menurunkan peti kayu yang berisi bawi sandah ke pinggir pantai. Hari sudah mulai gelap, sementara ujan turun merintik. Untungnya karena tertutup rapat bawi sandah tidak begitu tahu keadaan diluar.
"Sudah sampai kah," tanya bawi sandah yang mendengar suara ribut dari luar.
"Beluum," ujar dambeng sambil mengangkut peti ke pulau.
Warga pun mulai berbisik, saling memberi kode. Sebagian menunggu di kapal tiung sebagian lagi mengangkat peti bawi sandah ke dalam hutan dipulau tersebut. Beberapa ratus meter masuk kedalam hutan, warga saling memberi kode untuk meletakan peti disekitar tersebut.
Sambil mengendap-ngendap warga meletakan peti ke tanah yang rimbun ditanamani berbagai tanaman Hutan. Sementara dari dalam peti masih jelas terdengar suara hela nafas bawi Sandah.
"Sudah sampai kah," tanya bawi sandah yang mendengar senyap.
"Belum sebentar lagi," kata Dambeng yang mulai mengendap- endap pergi meninggalkan peti.
Ketika sudah dibibir pantai, Dambeng dan puluhan warga berlari sekuat tenaga menjangkau kapal tiung yang mulai meninggalkan pulau. Bahkan diantaranya ada yang nekat melompat menerjang gelombang laut.
"Sudah sampai kah,?" Sayup-sayup terdengar suara dari dalam hutan.
"Sampaiiii," ujar dambeng berteriak.
Saat itu juga, terdengar suara peti kayu yang dirusak. Dari atas kapal mereka sempat melihat sesosok mahluk putih berlari menuju bibir pantai. Namun karena sudah terlalu jauh, mahluk itu tidak bisa menjangkau mereka.
Sejak saat itu, pulau tersebut konon menjadi berhantu. Bahkan sering para nelayan yang memancing disekitar pulau di ganggu oleh sosok mahluk tinggi besar.
Bawi sandah pun konon sering mengganggu para pria yang suka berkhayal dan berkelakuan aneh didalam hutan.
Kisah Bawi sandah ini begitu sempat Populer di Pulang Pisau di tahun 90an, oleh banyak ibu-ibu saat itu diceritakan pada anak-anak gadisnya untuk bisa belajar dari kehidupan bawi sandah. Yakni belajar untuk sabar dan tidak mengambil Tindakan saat emosi.