Ecosoc Institute Gelar Diskusi Publik Sikapi UU Cipta Kerja

Diskusi Publik yang mengusung tema Hutan Untuk Siapa yang menghadirkan beberapa narasumber dari Guru Besar Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB), dinas terkait, dan awak media pada (15/11/2022) Selasa tadi di Hotel Teras Kita Jakarta Timur. Foto: Dok Ecosoc Institute.

POS SINDO.COM, Jakarta - The Institute for Ecosoc Rights (Ecosoc Institute) menggelar diskusi publik tentang hasil riset dampak pelaksanaan UU Cipta Kerja (UUCK) terhadap Tata Kelola Kehutanan di Kabupaten Buol dan Sigi, Sulawesi Tengah. Kegiatan ini menghadirkan Guru Besar Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB), dinas terkait, dan awak media pada (15/11/2022) Selasa tadi di Hotel Teras Kita Jakarta Timur.

Dari hasil kegiatan tersebut menghasilkan beberapa kesimpulan, bahwa UUCK Cipta Kerja terbukti belum bisa memecahkan masalah. Seperti mematikan inovasi yang dilakukan daerah. Sebagaimana diketahui, Pemerintah Indonesia sejatinya telah berkomitmen untuk mengurangi deforestasi dan emisi gas rumah kaca.

Di tengah komitmen tersebut, pemerintah membuat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang disahkan DPR pada 5 Oktober 2020 dan ditandatangani langsung oleh Presiden Republik Indonesia pada 2 November 2020.

Peneliti Ecosoc Institute, Sri Palupi memaparkan, bahwa alih-alih mematuhi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia, pada kenyataannya pemerintah sudah melaksanakan UUCK dan dampak buruk dari pelaksanaan UUCK ini sudah dirasakan oleh pemerintah dan masyarakat di Kabupaten Buol dan Kabupaten Sigi.

Menurutnya, pemerintah Kabupaten Buol dan Kabupaten Sigi telah membuat program dan kebijakan untuk memperbaiki tata kelola hutan. Diantaranya dengan meningkatkan partisipasi masyarakat dan mengoreksi ketimpangan dalam pemanfaatkan hutan dan lahan.

"Namun upaya yang dilakukan pemerintah di kedua kabupaten tersebut dimentahkan oleh pelaksanaan UUCK yang meresentralisasi dan melemahkan partisipasi masyarakat dalam tata kelola kehutanan. Temuan di lapangan membuktikan, UUCK tidak memenuhi harapan untuk memecahkan persoalan dan mengoreksi ketimpangan," ujar Sri Palupi.

Sementara Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sigi, Afit Lamakarate, membenarkan temuan riset yang dimuat dalam film dan laporan. Bahwa UUCK membuat banyak pihak menjadi was was karena perijinan pemanfaatan SDA ditarik ke pusat, sementara pengawasan diserahkan ke daerah.

"Ini jelas tidak efektif. Tata kelola kehutanan harus dibenahi agar hutan tetap terjaga namun rakyatnya sejahtera. Dalam hal kesejahteraan, Bupati Sigi tidak memberikan janji muluk sebagaimana yang dilakukan perusahaan. Kesejahteraan rakyat yang hendak dicapai pemerintah Sigi itu ukurannya sederhana, yaitu rakyat bisa makan, bisa sekolahkan anak. punya rumah dan punya akses atas layananya," ungkap Afit Lamakarate.

Menanggapi hal tersebut dalam diskusi publik ini Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Hariadi Kartodihadjo menegaskan soal urgensi dan pentingnya laporan riset dan film tentang dampak pelaksanaan UUCK tersebut. Hal ini dikarenakan pemerintah sedang melakukan perubahan terhadap UUCK.

Menurut Hariadi Kartodihadjo, temuan dari lapangan bisa memberikan argumen UUCK itu seharusnya seperti apa dan bagian mana dari UU Cipta Kerja itu yang tidak relevan. Temuan tentang pelaksanaan UUCK membuktikan bahwa di Kabupaten Buol dan Kabupaten Sigi, pemerintahnya harus mengetahui solusi terkait masalah ekonomi dan lingkungan hidup yang dihadapi masyarakat di daerahnya dan kedua pemerintah itu sudah melakukan inovasi. (Arief Suseno)



Sumber rilis : The Institute for Ecosos Rights

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال