Alih Fungsi Lahan Basah Ancam Perkembangan Burung Air Di Jakarta

Tim dari Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia (Burung Indonesia) saat sedang melakukan pemantauan aktivitas burung air di dermaga Pulau Rambut, pada Minggu (29/1/2023). | Foto: Arief Suseno

POS SINDO.COM, Jakarta - Populasi dari spesies seperti burung air yang tinggal di Kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut untuk saat ini semakin berkurang. Alih-alih kencangnya pembangunan dengan merubah fungsi lahan basah yang sebelumnya adalah habitat para burung untuk mendapatkan sumber makanan, kini menjelma menjadi sebuah jalan dan gedung bangunan.

Seperti yang ada di daerah Pantai Indah Kapuk (PIK) Jakarta. Perubahan itu tentunya menjadi ancaman burung, dan tidak menutup kemungkinan memaksa mereka pergi meninggal Pulau Rambut ke daerah lain yang masih memiliki lahan basah cukup cukup.

Menurut Ferry, salah satu penyebab burung-burung menjadi berkurang adalah sulitnya para burung bisa mendapatkan makanan. Biasanya burung air tidak lepas dari lahan basah yang ada di daerah tersebut.

“Dari hasil pantauan, kami mendapatkan tidak sampai ada 100 ekor burung yang biasanya beraktivitas ke daerah sana. Kemungkinan tersebarnya para burung pindah ke Pulau Jawa. Semua itu disebabkan karena adanya perubahan tempat mereka mencari makan di daerah itu, yang nanti disebut calon PIK 3,” ungkapnya.

Lanjutnya, disana sedang ada pembangunan jalan baru. Aktivitas menguruk beberapa lahan basah seperti tambak, rawa-rawa dan rencana pembangunan perumahan masih terus berjalan. Hal itu kemungkinan yang bisa mempengaruhi pertumbuhan populasi burung di Pulau Rambut.

“Pulau Rambut dengan daerah tersebut memang tidak terlalu jauh. Ada kemungkinan mereka menjauh untuk mencari tempat makannya. Untuk jenis burung air yang belum berkembangbiak ada kemungkinan mereka bisa pergi, terkecuali indukan yang sedang bertelur dan yang sedang mengasuh anaknya pastinya mau tidak mau akan kembali,” ucap Ferry.

Sejalan dengan ini, Conservation Partnership Adviser Burung Indonesia, Ria Saryanthi, menjelaskan untuk ancaman terbesarnya bagi para burung adalah kesulitan mereka mencari makan. Apabila lahan basah hilang yang biasa dijadikan tempat burung bertahan hidup mereka akan pergi.

“Burung-burung air biasanya mencari makanan di tambak dan di hutan-hutan bakau. Kalau itu semua hilang dan berubah, seperti menjadi lahan perumahan misalnya atau peruntukan lainnya. Juga hutan mangrovenya hilang dan itu yang menjadi ancaman bagi kehidupan burung yang tinggal di Pulau Rambut. Mereka mau cari makan dimana lagi, mungkin akan lebih jauh mereka mencari makannya,” tutur Ria Saryanthi, saat ditemui di Pulau Rambut di kegiatan yang sama.

Ia menjelaskan, untuk Pulau Rambut yang sejatinya adalah tempat tinggalnya para spesies burung tak terkecuali burung air. Disitulah mereka bersarang dan berkembangbiak. Burung-burung ini akan merasa aman jika pohon-pohon yang ada di lahan hutan kawasan tersebut masih tersedia.

 

Burung air jenis cikalang christmas, salah penghuni Kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut. | Foto: Dok / Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia (Burung Indonesia).

Biasanya dalam berkembangbiak kata Ria Saryanthi, burung air selalu hidup berkelompok dan itu lebih aman untuk mereka agar bisa saling menjaga. Apabila pohon-pohon tinggi tempat biasa mereka tinggal dipastikan masih ada tentunya masih aman.

Selain itu lanjutnya, ketersedian makanan di dalam hutan untuk burung selain burung air dirasa masih tersedia. Berbeda dengan burung air ini memaksa mereka harus mencari makan diluar kawasan untuk mendapatkan kepiting dan ikan.

“Selama di kegiatan ini dari tahun sebelumnya untuk peningkatannya disini masih cukup baik dalam pengembangbiakan. Tapi secara umum, kita bisa kita lihat jika dihitung ada peningkatan. Di tahun sebelumya cukup sukses mereka bertelur dua sampai tiga. Untuk yang menetas biasanya hanya satu saja dan sekarang bisa menetas semua” ungkap Ria Saryanthi.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Medrilzam berpendapat, terkait kebijakan alih fungsi lahan basah, menurutnya merupakan fenomena yang sangat natural. Apabila ada pembangunan pasti berdampak kelainya, seperti burung-burung yang tinggal di Pulau Rambut.

“Dan itu pastinya berdampak, yang sekarang ini adalah mesti harus bisa dikelola dengan baik. Jika mereka sudah mengetahui itu dengan pembangunan seperti ini, sebenarnya harus bisa memahami itu. Saya sempat melihat dan kaget juga si, begitu dekatnya antara PIK dengan Pulau Rambut, dan ini sangat dekat sekali,” ujar Medrilzam, saat ditemui di Pulau Rambut pada kegiatan Asian Waterbird Census (ACW) 2023, kemarin.

Ia menceritakan, kawasan yang sebelumnya tempat para burung-burung mencari makanan itu, dulunya adalah rawa. “Saya mengenal Pulau Rambut sudah sejak lama, dimana pulau ini adalah tempat singgahnya burung-burung yang migrasi dari utara ke selatan begitupun sebaliknya. Sekitar 40 tahun yang lalu PIK itu masih berbentuk rawa. Hal ini tentunya bisa terbayangkan dengan perubahan yang signifikan seperti sekarang ini,” terang Medrilzam.

Menurutnya, apabila ada penurunan pada burung air itu merupakan fenomena yang sangat alamilah. Maka dari itu tinggal bagaimana caranya untuk menangani persoalan itu. Untuk saat ini yang terpenting dilakukan adalah menjaga kawasan Pulau Rambut terlebih dahulu.

Lanjut terangnya, saya melihat Pulau Untung Jawa yang juga bersebelahan dengan Pulau Rambut itu cukup berkembang populasinya. Hal ini juga sebagai alternatif untuk para burung-burung jenis lainnya sebagai tempat peristirahatan. Apalagi burung memiliki sifat yang suka berpindah-pindah tempat. Untuk itu di Pulau Rambut harus menghidupkan tempat pakan yang ada jangan sampai hilang.

“Untuk yang di PIK kalau saya melihat seharusnya dibuat ekosistem buatan. Harusnya sebelum memulai pembangunan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) sudah terdeteksi dengan kondisi seperti yang ada saat ini. Saya juga tidak mengetahui amdalnya seperti apa,” ungkap Medrilzam.

Terkait hal itu Ia menyarankan, dalam pembangunan di PIK yang memaksa harus merubah alih fungsi lahan basah menjadi tempat tinggal manusia, pencegahan agar tidak terjadi kepunahan pada burung air dan bisa saling menyeimbangkan itu semua harus ada cara lain yakni disediakannya ekosistem buatan. Seperti taman buatan, atau menyediakan hutan mangrove. Hal itu sebagai upaya mengurangi dampak ancaman kepunahan.

“Artinya fungsi disana itu mungkin harus dikuatkan. Jangan semuanya tiba-tiba jadi bangunan, jadi jalan dan sebagainya, namun fungsi ekosistemnya tidak berjalan dan harus dibuatkan sedemikian rupa,” tukasnya. (Arief Suseno)

Editor : Dedy


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال