Gedung Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat (DPR/MPR). Foto/parlementaria |
POSSINDO.COM, Ragam -Salah satu bangunan bersejarah di ibu kota Jakarta adalah gedung DPR/MPR. Sebuah gedung dengan kubah warna hijau yang berlokasi di Jalan Gatot Subroto, Senayan.
Seperti diketahui, gedung DPR/MPR merupakan saksi beragam peristiwa sejarah bangsa ini.
Selama ini kubah tersebut selalu diasosiasikan dengan tempurung
kura-kura. Maka jangan heran kalau bangunan ini ada yang menyebut dengan
"Gedung Kura-kura". Nah, benarkah kubah itu berbentuk kura-kura?
Kubah Berbentuk Kura-kura?
Lantas bagaimana dengan bentuk kubah berwarna hijau di Gedung Nusantara yang
merupakan gedung utama dalam kompleks MPR/DPR/DPD? Menurut kamu apakah benar
serupa dengan hewan kura-kura?
Rupanya kubah dengan bentuk setengah lingkaran itu bukan melambangkan
kura-kura. Namun, kepakan sayap burung yang akan lepas landas.
Dikutip dari buku Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: Sejarah,
Realita, dan Dinamika (2006), gedung DPR/MPR memiliki struktur dan konstruksi
khas.
Struktur atap gedung DPR/MPR yang menyerupai kepakan sayap burung garuda
merupakan penggabungan dua bagian kubah. Bentuk atap itu disebut muncul secara
tidak sengaja dan waktu itu belum pernah diciptakan di seluruh dunia.
Pembangunan kubah hijau tanpa pilar-pilar penyangga di bawahnya juga melibatkan
Ir. Sutami.
Pengecoran Kubah Melibatkan 27 Ribu Orang
Atap
gedung ini mirip dengan prinsip struktur sayap. Dikutip dari detikX "Jejak
Sutami di Gedung MPR/DPR", semula atap akan berbentuk kubah murni. Tapi
Sutami selaku ahli struktur bangunan mengingatkan hal itu akan memunculkan
masalah serius.
Sebab, hal ini menyangkut pemerataan penyaluran beban gaya vertikal ke
tiang-tiang penopang kubah. Satu saja di antara tiang tersebut melorot akan
menimbulkan akibat berantai. Seluruh kubah bakal mengalami keretakan, pecah,
dan akhirnya runtuh.
Selain
itu, pemakaian kubah murni memerlukan banyak tiang penyangga, yang akan
mengganggu pembagian ruang-ruang sidang di lantai dasar.
Dalam keadaan mendesak, Soejoedi menugasi Nurpontjo untuk membikin maket kubah alternatif.
Sebagai insinyur muda yang baru lulus dari ITB, Nurpontjo pun kelabakan.
Hingga suatu saat dia memotong cetakan kuali untuk kue serabi menjadi dua
bagian. Tujuannya adalah menghasilkan bentuk kubah yang tidak retak. Percobaan
belum tuntas, Soejoedi telanjur datang dan melihatnya.
"Wah, bagus ini! Akan saya tanyakan kepada Pak Sutami sebagai pelaksana
teknis apakah bentuk seperti ini bisa terealisasi," ujar Nur mengenang
seperti ditulis Intisari edisi Oktober 1991.
Ternyata Sutami, yang kemudian membuat sketsa dan perhitungan teknisnya,
menjamin kubah semacam itu bisa dikerjakan. Sebab, desain tersebut tak berbeda
dengan prinsip struktur kantilever pada pesawat tebang.
Dia malah berani menjamin, dengan bentangan 100 meter pun, bentuk struktur ini
masih dapat dipertanggungjawabkan. Sebab, yang berfungsi sebagai badannya
adalah dua buah busur beton yang dibangun berdampingan dan akan bertemu pada
satu titik puncak.
"Ketika pengecoran atap kubah, tak kurang dari 27 ribu orang terlibat
langsung siang-malam seperti armada semut,"tutur Nurpontjo.
Keberhasilan Sutami sebagai pelaksana proyek dan juga turut andil dalam
merealisasi atap berbentuk kubah mengundang pujian dari gurunya semasa di ITB,
Ir Roosseno. Ahli beton itu mengakui gedung Conefo sebagai karya besar Sutami.
"Kehebatan dia adalah kemampuan organisatorisnya. Membangun gedung sebesar
itu, dengan bentuk kubah raksasa yang unik, pengalaman belum dimilikinya, dan
dengan segala keterbatasan pada waktu itu, ditambah lagi dengan singkatnya waktu
yang diberikan oleh Bung Karno, adalah sebuah tantangan besar bagi seorang
insinyur muda seperti Sutami,"tutur Roosseno seperti diceritakan kembali
oleh Hendropranoto Suselo, yang pernah menjadi salah satu staf Sutami di
Departemen Pekerjaan Umum.
Sumber : detik.com