Profesor Sedyatmo (Sedijatmo atau Sediyatmo) adalah Penemu Sistem Pondasi Konstruksi Cakar Ayam. Foto/Kementerian PUPR/Wikipedia |
Saat dilahirkan, Sedyatmo memiliki nama kecil Raden Mas Sarwanto. Ketika berusia beberapa bulan, ia menderita sakit yang cukup lama sehingga membuatnya harus mengganti nama. Orang tuanya kemudian memberikan nama baru R.M Sedyatmo. Nama Sedyatmo diambil dari kata Sedia dan Atmo yang artinya sedia, sanggup atau mau dan Atmo yang artinya anak.
Sedyatmo setelah menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas (SMA) di
Algemene Middel-bare School (AMS) Yogyakarta. Kemudian, melanjutkan ke
Technishe Hogeschool de Bandoeng (THS) yang sekarang dikenal dengan Institut
Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1930.
Setelah empat tahun menempuh pendidikan, Sedyatmo meraih gelar Insinyur pada
tahun 1934. Setelah lulus Sedyatmo memilih kembali ke Mangkunegaran dan bekerja
sebagai insinyur perencanaan di berbagai instansi pemerintahan.
Lahirnya Ide Kreatif Penemuan Pondasi Cakar Ayam
Dalam perjalanan karier dan pengabdiannya sebagai Insinyur, bangsa Indonesia
kemudian mencatat kegemilangan karyanya melalui Konstruksi Cakar Ayam yang
digagasnya pada tahun 1962. Sistem pondasi cakar ayam ini juga telah dikenal
dibanyak negara, bahkan telah mendapat pengakuan paten internasional di 11
negara, di antaranya Indonesia, Jerman, Inggris, Perancis, Italia, Belgia,
Kanada, Amerika Serikat, Belanda, dan Denmark.
Lahirnya ide kreatif teknik cakar ayam sejatinya berawal dari kesulitan tenaga
pelaksana konstruksi menghadapi tanah lunak. Membuat pondasi di lahan lunak
memang sulit dilakukan. Hal tersebut juga dialami Sedyatmo ditahun 1962, saat
ia menjadi pejabat di PLN ditugaskan memimpin proyek pembangunan tujuh menara
listrik tegangan tinggi di daerah rawa-rawa di kawasan Ancol, Jakarta.
Saat itu, para tenaga ahli dan pelaksana proyek yang ditugaskan bersamanya mengalami banyak kesulitan untuk melaksanakan pembangunan menara listrik tegangan tinggi tersebut. Setelah bekerja keras dengan mengerahkan segala kemampuan mereka hanya berhasil membangun dua menara.
Meskipun telah mengerahkan segala cara mereka akhirnya mengalami jalan buntu untuk menyelesaikan lima menara lainnya mengingat kelabilan lahan yang merupakan daerah rawa-rawa. Disisi lain proses konstruksi dua menara sebelumnya yang dibangun dengan sistem pondasi konvensional telah benar-benar menguras tenaga, biaya dan waktu konstruksi yang lama.
Ketegangan tim semakin memuncak mengingat keberadaaan menara-menara listrik tersebut sangat diperlukan. Sebab, menara-menara itu menjadi sarana penyaluran aliran listrik dari pusat tenaga listrik di Tanjung Priok ke Gelanggang Olah Raga Senayan yang saat itu akan dijadikan tempat penyelenggaraan pesta olah raga Asian Games 1962.
Dalam situasi genting itu, Sedyatmo melahirkan ide pondasi cakar ayam. Melalui konsep ini menara dibangun di atas pondasi yang terdiri dari plat beton yang didukung pipa-pipa beton di bawahnya.
Pipa dan plat yang melekat, menyatu dan mencengkeram dengan sangat kuat ditanah lembek mirip cara kerja cakar ayam ini terbukti mampu mengatasi masalah yang dihadapai timnya sehingga tugas berat tersebut dapat diselesaikan tepat waktu. Alhasil, lima menara dapat berdiri kokoh, kuat dan tepat waktu.
Sumber : tempo.co