Pakar
hukum tata negara, Mahfud MD, soal pemerintah revisi Undang-undang (UU)
POSSINDO.COM, Nasional – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menekankan pentingnya
pembentukan Undang-Undang (UU) Lembaga Kepresidenan guna mengantisipasi potensi
penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power secara diam-diam oleh
kepala negara.
Menurut Mahfud,
saat ini banyak lembaga tinggi negara telah diatur dalam undang-undang
tersendiri, seperti Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Komisi Yudisial (KY). Upaya mendorong UU
Lembaga Kepresidenan sejatinya pernah dilakukan pada 2001, namun tak pernah
terealisasi karena dianggap telah ada sejumlah regulasi yang mengatur presiden,
seperti UUD 1945, UU ASN, UU BPK, dan UU Pemilu.
"Apa yang
dilakukan presiden semua bisa diselesaikan dengan undang-undang yang ada. Tidak
harus pakai UU Kepresidenan. Semua bisa. Lalu, kenapa masih perlu?" kata
Mahfud dalam seminar nasional bertajuk Urgensi UU Lembaga Kepresidenan
yang disiarkan daring melalui kanal YouTube Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia (UII), Kamis (24/4).
"Karena ini
alasannya, bukan hanya karena belum ada undang-undang khusus, tapi karena dalam
praktik banyak masalah muncul yang sulit diselesaikan secara hukum — baik hukum
administrasi, ketatapemerintahan, maupun ketatanegaraan — dari undang-undang yang
ada," lanjutnya.
Mahfud menegaskan,
usulan ini bukan muncul tiba-tiba. Meskipun banyak aturan telah mengatur
jabatan presiden secara terpisah, kenyataan di lapangan menunjukkan masih
maraknya praktik penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam konteks
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, Mahfud menyoroti dugaan abuse of power
yang sulit disentuh oleh hukum karena langkah politik presiden kerap dibungkus
kewenangan formal. Ia mencontohkan penggunaan bantuan sosial (bansos) yang
dinilai sarat muatan politis.
Mahfud berharap, UU
Lembaga Kepresidenan juga dapat memperjelas batasan netralitas presiden dalam
pemilu, mengingat ketentuan yang ada saat ini dinilai masih multitafsir.
Misalnya, aturan tentang kampanye di hari libur atau cuti kerja yang tidak
secara eksplisit mengikat presiden petahana (incumbent).
"Bahkan,
undang-undang ini bisa mengatur akibat hukum atas tindakan presiden sebelum,
saat, maupun setelah menjabat. Misalnya, jika ada sesuatu yang diketahui
setelah masa jabatan berakhir, bagaimana penyelesaiannya," ujarnya,
menyinggung polemik ijazah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi), yang sempat
dituding palsu.
Mahfud menyadari
bahwa UU semacam ini bisa saja tidak diberlakukan langsung dalam waktu dekat.
Namun ia menyarankan agar dimasukkan ke dalam program legislasi nasional
(prolegnas) untuk dipersiapkan demi masa depan.
"Biasanya
orang takut untuk mengikat dirinya sendiri. Tapi bisa mencontoh model
pembentukan undang-undang lain yang diberlakukan dua periode setelahnya, agar
yang sekarang tidak merasa takut dan ikut mendukung," tuturnya.
Ia juga menyoroti
masa transisi kepemimpinan, ketika presiden demisioner masih mengesahkan
berbagai kebijakan strategis yang mengikat pemerintahan berikutnya. Mahfud
menilai hal ini juga perlu diatur dalam UU Lembaga Kepresidenan.
"Belakangan
ini, di masa demisioner, banyak sekali kebijakan strategis yang disahkan dan
mengikat presiden baru. Masyarakat protes, lalu presiden baru bisa apa? Nah,
ini juga bisa diatur dalam undang-undang tersebut," ujarnya.
Mahfud mengakui
bahwa selama masa transisi pemerintahan Jokowi ke Prabowo, dirinya kerap
menyuarakan kritik keras, bahkan hingga hari pelantikan Prabowo Subianto
sebagai Presiden ke-8 pada 20 Oktober 2024.
"Saya terus
kritik pemerintahan Pak Jokowi sampai 20 Oktober, terutama saat ada indikasi
ingin melanggar putusan MK. Saya khawatir sebelum Pak Prabowo dilantik,
kekuasaannya sudah diambil. Tapi setelah dilantik, saya berhenti," ucap
Mahfud, yang juga merupakan mantan calon wakil presiden 2024.
Ia menambahkan,
kekhawatirannya didasarkan pada ketiadaan larangan untuk presiden mengeluarkan
keputusan strategis di akhir masa jabatan. Bahkan, Mahfud menyinggung
kemungkinan penerbitan dekrit yang dapat memperpanjang masa jabatan dengan
dalih kelalaian pelaksanaan pemilu.
"Memang dekrit
tidak dikenal dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, tapi dalilnya, kekuasaan
yang diperoleh dan ditaati secara efektif itu mengikat," tegas Mahfud.
Ia mengacu pada
sejarah Indonesia, seperti ketika Sukarno memproklamasikan kemerdekaan yang
secara teknis melanggar konstitusi Belanda, namun tetap sah karena mendapat
dukungan rakyat. Contoh lainnya adalah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh
Soekarno, dan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang digunakan Soeharto
untuk mengambil alih kekuasaan.
"Sah meskipun
melanggar konstitusi, karena ada dalil salus populi suprema lex esto —
keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Itu filosofi tertinggi dari
kedaulatan rakyat, tapi bisa disalahgunakan, maka jarang dikuliahkan,"
pungkas Mahfud.
Sementara itu,
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDIP, TB Hasanuddin, juga mendukung penyusunan
RUU Lembaga Kepresidenan. Ia menilai UU ini penting untuk menjaga marwah
lembaga kepresidenan dan mencegah pelanggaran etika bernegara.
"UU tersebut
untuk menjaga marwah lembaga kepresidenan agar siapapun presidennya tidak
melanggar etika politik dan mencederai nilai-nilai demokrasi," kata Hasan
pada Senin (9/12) tahun lalu.
Hasan menyoroti
sejumlah pelanggaran etika selama pemilu serentak 2024, baik Pilpres maupun
Pilkada, yang menunjukkan adanya campur tangan presiden dalam proses politik.
Ia berharap, UU Kepresidenan nantinya dapat melarang praktik penggunaan
kekuasaan presiden untuk kepentingan elektoral, termasuk dalam pendistribusian
bantuan pemerintah bagi pasangan calon tertentu.
Sumber : cnnindonesia.com